Friday, January 02, 2009

PERJALANAN MENCARI TUHAN (1 dari 15 postingan)


PERJALANAN MENCARI TUHAN
Dahsyatnya Kekuatan Logika - Atek

Demikian Judul tulisan dari rekan satu perusahaa saya, seorang Tiong Hoa yang mendapat hidayah untuk bermuallaf menjadi Muslim. Saat ini tulisan yg tebagi dlm 15 bab dalam tahap persiapan untuk dipromosikan ke penerbit untuk dipublikasikan dalam sebuah buku. Dan atas seijin yang punya, saya diberi soft copy untuk diposting dalam blog saya... Jadi dalam beberapa postingan ke depan sy akan menyisipkan sequential dalam bab per bab pd blog saya... Semoga bermanfaat


Bab 1. 25 Agustus 1978

Pagi yang indah, nyanyian burung bersahutan tiada henti, semilir angin pagi yang sejuk begitu terasa. Terdengar suara rintihan seorang ibu yang sedang menahan sakit yang sangat dari sebuah rumah mungil beratapkan.rumbia.
“Aduh nek….sakit nek” keluh sang ibu.
“Sabar Mue, sedikit lagi anak ini akan lahir,sabar ya, atur nafas mu” balas sang bidan .
“ Aku sudah tidak tahan lagi nek ”
Tepat pukul 8 pagi 26 Maret 1978, lahir seorang bayi mungil, cowok, berambut hitam lebat. Itulah aku. Aku diberi nama “Atek” oleh emakku. Emakku sangat senang dan bahagia dengan kelahiranku. Lengkaplah sudah kebahagian papa dan emakku, sebelumnya juga telah lahir kakakku Tua tie (cowok) pada 16 November 1974. Kakakku juga senang karena telah memiliki seorang adik dan telah menjadi seorang kakak.
Emak dan papaku sejak awal November 1974 telah menempati atau tinggal di Selat Nenek, tanah kelahiranku. Sebuah desa kecil, yang hampir penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, ada juga yang bekerja sebagai penebang kayu bakau di hutan bakau untuk dibuat kayu arang. Memang di desaku banyak sekali bisa ditemukan hutan bakau yang hijau disekitar pinggiran pulau. Ada banyak pulau-pulau kecil ada di sekitar desaku. Pulau-pulau kecil inilah sebagai tempat para nelayan mencari nafkah, seperti mencari gonggong (sejenis siput yang hanya ada di Propinsi Kepri), memasang bubu ikan (terbuat dari kawat, rangkanya dari kayu atau rotan) disekitar karang-karang yang ada di pinggir pulau-pulau kecil itu dengan menyelam. Suku Melayu merupakan suku yang mayoritas yang ada di desa ini. Hampir semua penduduknya beragama Islam. Hanya ada 2 KK yang beragama Kong Hu Cu, termasuk kami sekeluarga salah satu dari 2 KK tersebut. Emak dan papaku pindah ke Selat Nenek, tepat hampir 9 bulan usia kehamilan emakku saat mengandung kakakku. Mereka memiliki sebuah warung kecil, yang menjual kebutuhan harian rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Warung itu adalah hasil kerja keras papa dan emakku. Sampai saat ini juga sudah lebih dari 30 tahun beliau masih berjualan di desaku.
Tetapi kebahagian emakku akan kelahiranku hanyalah sebagai obat yang bersifat sementara untuk menyembuhkan pikirannya yang sedang gundah saat itu. Ada satu hal yang masih menjadi pikiran amakku, yaitu tentang sakitnya papaku. Papaku mengidap penyakit kanker hati. Penyakit ini sudah diderita papaku satu tahun terakhir ini. Rencananya dalam waktu dekat pihak saudara dari papaku akan membawa beliau ke rumah sakit di Singapura. Karena pada masa itu sangat sulit untuk mencari rumah sakit yang bonafide di daerah Batam dan memang jumlah rumah sakit sangat terbatas pada masa itu.
Lima bulan setelah kelahiranku, Jumat, 25 Agustus 1978 papaku pergi ke Singapura untuk berobat setelah dijemput bibiku dari Singapura, juga Acek Aai adik papaku juga turut serta mengantarkan kakaknya. Sebenarnya sakit beliau sudah tergolong parah, dan mungkin sudah terlambat untuk disembuhkan. Tapi harapan dan keyakinan untuk sembuh selalu ada di hati emak dan papaku.
Saat pergi papaku berpesan pada emakku;
“Jagalah Anak-anak kita dengan baik, doakan aku semoga cepat sembuh, tapi bersiaplah untuk kemungkinan terburuk, Kau harus sabar dan kuat istriku”
Emakku hanya menganggukkan kepala tanda mengerti, tanpa berkata apa-apa, sambil menangis ia melepas kepergian papaku. Emakku hanya pasrah dan berdoa kepada tuhan semoga suaminya bisa sembuh dan segera kembali di rumah
Papaku ke Singapura lewat pelabuhan Batu Ampar dengan menggunakan kapal tanpa didampingi emakku, karena waktu itu tidak ada yang merawat aku dan kakakku. Sesampai disana papaku langsung dibawa ke rumah sakit dan segera dilakukan pengecekan. Seperti dugaan sebelumnya sakitnya beliau menurut dokter di rumah sakit tersebut sudah parah dan kemungkinannya sangat kecil untuk disembuhkan .
Pada Jumat malam keadaan papaku semakin tambah parah, ia benar-benar sudah tenat, untuk makan dan minum saja beliau kesulitan. Tepat pukul 10 malam akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya. Papaku meninggal dunia. Tragisnya emakku tidak ada disampingnya ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Timbul masalah baru pada saat itu, bagaimana membawa jenazahnya ke Batam dari Singapura. Entah kebijaksanaan pemerintah setempat atau bukan. Setiap orang selain penduduk Singapura jika meninggal dunia di Singapura harus dikremasi. Akhirnya setelah izin dari pihak keluarga termasuk emakku, papaku akhirnya dikremasi. Sekali lagi saat itu emakku tidak berada di Singapura. Abu kremasinya diletakkan dalam sebuah guci kecil. Guci inilah yang dibawa pulang ke kampung halamanku oleh Acek Aai, adik papaku.
Tepat hari Sabtu siang 26 Agustus 1978 Acek Aai tiba di rumahku. Dengan mata yang memerah dan air matanya terus mengalir dipipinya. Ia berkata:
“Kakak ipar, guci ini adalah abu jenazah kakakku, suami dari kakak ipar“
Segera emakku mengambil guci kecil dari tangan Acek Aai. Dipeluknya erat-erat guci itu seolah-olah tidak mau melepaskannya walaupun sesaat. Emakku langsung menangis terisak-isak tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya hanya air matanya yang terus mengalir di kedua pipinya. Emakku memang orangnya mudah iba dan menangis, sampai saat sekarang juga beliau tidak berubah dengan sikapnya. Kakakku juga ikut menangis, tidak tahu saat itu dia sudah mengerti keadaannya atau belum. Tapi yang jelas ia sempat memanggil “Papa…Papa” beberapa kali, emakku terus memeluk erat kakakku dan berkata;
“Jangan menangis nak, papamu sedang tidur dengan tenang, suatu saat dia akan kembali menemuimu dan adikmu”
Aku waktu itu, masih diayunan, tidak mengerti apa-apa. Walaupun riuh rendah suara tangis dari emak dan kakakku memecah kesunyian siang itu terdengar oleh telingaku.
Karena papaku meninggal dunia saat aku masih berusia lima bulan, kalau tidak melihat fotonya pasti aku tidak akan mengenalinya. Untungnya saat ini aku masih memiliki fotonya, ada 2 buah foto yang tersisa. Satu buah foto papaku melihat emakku menggendong kakakku dan satu buah foto lagi saat emak dan papaku menikah. Foto pernikahan mereka ini telah Aku scan dan ku simpan di komputer yang ku gunakan untuk membuat karya tulis ini. Kalau aku perhatikan, wajahku mirip dengan emakku, tapi bentuk hidungku seperti hidung almarhum papaku. Banyak penduduk di kampungku berkata bahwa aku sangat mirip dengan papaku, baik raut wajah dan tingkah lakunya dalam bergaul dengan penduduk setempat. Suatu kebanggaan bagiku disamakan dengan almarhum papaku. Menurut pak imam Dolrahim, almarhum papaku adalah orang yang baik, yang tidak sungkan-sungkan saat memberi bantuan kepada penduduk yang membutuhkan bantuan, beliau juga terkenal ramah dengan penduduk setempat.
Suatu ketika pernah aku bertanya pada emakku;
”Mengapa emak tidak menikah lagi? ” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Papamu terlalu baik bagi emak, emak sudah punya kamu dan kakakmu, kalau emak menikah lagi belum tentu suami baru sebaik almarhum papamu” jawab emakku dengan mata berbinar.
Dari jawaban dan tatap matanya aku mengerti bahwa betapa dalamnya cinta dan sayang emak terhadap papaku.
Mereka padahal tidak berpacaran, hanya dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Namun cinta mereka abadi hanya maut yang bisa memisahkan mereka. Pernikahan mereka hanya berumur enam tahun lamanya. Itulah takdir yang harus dilalui dan diterima oleh mereka.
(Insya Allah bersambung)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

The iRreVersible : Don't let your voice echoes only in your backyard. "In matters of style, swim with the current; in matters of principles, stand like a rock."